Namannya
Pak Bambang,Ia tinggal di sebuah kota
yang sangat gila,hanya orang yang
memiliki kedudukan dan orang yang liciklah yang dapat merasakan kehidupan layak,meski
kesejehteraan batin tidak dapat mereka rasakan,yah ia tinggal di sebuah kota
yang korupsi dijadikan profesi utama dalam mencapai kesejahteraan oleh mereka yang punya kesempatan.
Pak
Bambang benci dengan pegawai negeri yang berkantor di ruangan yang ber_AC,duduk
di kursi empuk dengan meja yang dipenuhi puntung rokok dan di atas lemari
berisi deretan berkas dan proposal dalam “box file” yang tidak jelas apa
fungsinya.
Ia
benci pekerjaan itu,dalam termangu ia senandungkan pertanyaan kepada Tuhan yang
telah menarik takdirnya kepekerjaan itu,yah seorang pegawai negeri yang pekerjaannya mengurusi uang yang dikumpulkan dari
masyarakat di kotanya.
Pukul
sebelas siang,kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya saat ia dipanggil oleh
Kepala dinas atasannya,dan setelah berbasa-basi disampaikanlah kepada kepala
dinas mengenai pandangan masyarakat yang meremehkan kinerja dan moral pegawai
di Instansinya.
“Kalau
hanya dipersepsikan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian,maka kita hanya mendapat
secuil kesejahteraan sehingga masyarakat beranggapan pegawai negeri hanyalah
pekerjaan sepele.kita mengambil ‘’upeti”
dari pengusaha yang membayar pajak di kota ini,itu tidak salah kok,itu hal yang
wajar,mengingat begitu banyak pelayanan yang kita berikan .”sebuah
jawaban yang didapat dari kepala dinas.
“Tapi saya pikir ada baiknya kita mau berhenti
sesaat guna mendengar keluhan
masyarakat pak.”Pak Bambang menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang
pada ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat selama ini.
“Mereka
bilang bahwa birokrasi adalah sumber kemacetan
segala urusan,hingga tempat raibnya uang masyarakat,jadi apa tidak sebaiknya
kita benahi system birokrasi dan aturan yang ada,supaya tercipta paradigma
positif di mata masyarakat.”lanjutnya menyakinkan atasannya.
“Jangan
berpikir seperti itu,jangan gunakan perasaan nurani mu,taati saja perintah
atasan,kamu akan senantiasa benar dan selamat.” Tegas atasannya itu.
“Kita di sini terikat dalam sebuah system,jika salah satu dari
kita salah,maka kita harus mengatakannya benar untuk menjaga citra instansi kita,yang penting
keluarga kita sejahtera,semua kebutuhan terpenuhi,biarlah masyarakat berkata
apa,toh mereka tidak bisa memberhentikan kita,yang penting kita menjaga
hubungan baik dengan orang-orang yang di atas.”lanjut kepala dinas yang dirasa
memojokannya,entah apa ia yakin dengan jawaban itu.
“Tapi
pak bukannya kita di sini ada aturan,kenapa tidak kita mentaati peraturan yang
telah dibuat untuk kita jalankan.”Pak Bambang mencoba menyanggahnya.
“Alangkah bodohnya kita jika kita
ditundukan oleh aturan, aturan
itu kita yang membuat,kenapa kita harus
tunduk.sudahlah yang penting kamu diam,biarkan berjalan seperti ini.”
“Ahh
ini jawaban atau dokrin seorang atasan kepada bawahan.”pikir Pak Bambang.
Tidakkah
ia merasakan yang ku rasa?merasakan perlakuan mereka terhadap masyarakat yang kurang
mampu,seperti penarikan retribusi dari pedagang kaki lima dan pungutan liar
dalam mengurus perizinan dan penderitaan masyarakat semakin parah ketika
lapak-lapak mereka digusur.bukankah justru mereka yang menggerakan roda perekonomian
secara langsung?dan yang lebih penting mereka tidak memperoleh pekerjaan dari
birokrasi,bukan dari pemerintah yang selalu mengkampanyekan pengurangan
pengangguran.
Ya,mereka
bangkit,berdiri dan bergerak dengan kaki mereka sendiri, dan kita hanya
memerasnya,apakah hatinya bisa tenang dengan manipulasi uang panas dengan
bantuanku selama ini?namun berbagai pertanyaan yang ada dalam benaknya hanya
tinggal lamunan ketika kepala dinas mengisyaratkan umtuk menyudahi pembicaraan.
Masalahnya
sekarang apa yang harus ia lakukan?apakah ia harus melakukan doktrin dari
atasannya?Tidak!!itu bagaikan membasuh muka sendiri dengan air kencing yang
najis!apakah ia harus berhenti dari pekerjaan yang telah memberinya fasilitas
tempat tinggal dan mobil dengan plat merah serta perabotan yang ia beli dengan
uang amplop yang diperoleh para penjahat kerah putih yang “berkooperasi” dengan
instansinya?bagaimana ia menghidupi keluarganya jika ia berhenti.kali ini Pak
Bambang benar-benar dalam kebimbangan yang luar biasa.
Hari
minggu adiknya menginap di rumahnya,saat waktu adzan magrib tiba,Pak Bambang
masih dengan berkas-berkas dan proposal yang menumpuk di atas mejanya.
“Sholat
dulu mas,ini waktunya magrib.”ajak adiknya.
“Saya
masih sibuk.”balas Pak Bambang.
“Sesibuk
apapun,sholat harus kita laksanakan mas,mari sholat.”adiknya mencoba membujuk
Pak Bambang.
“Masalahnya
pekerjaan ini harus selesai malam ini,jika tidak,besok saya dimarah
atasan.”timpal Pak Bambang.
“Ya
saya tahu,kenapa mas lebih takut kepada marahnya atasan mas,bukan takut kepada
marahnya Allah.bukannya yang memberi hidup dan rezeki mas adalah Allah,bukan
atasan mas,Allah itu mengetahui apa yang kita lakukan mas,maka hendaknya apa
yang kita lakukan adalah untuk mendapat ridhoNya,bukan mendapat kemurkaanNya.”
“Ya
sudahlah mas,saya mau sholat dulu.”kata adiknya sambil berlalu.
Pak
Bambang menghentikan pekerjaannya,tapi ia tetap duduk di kursi,ia tampak
memikirkan sesuatu.
Sudah enam bulan Pak Bambang aktif di lembaga
swadaya masyarakat,yang aktivitasnya memantau birokrasi tempatnya bekerja.hal
ini tentu membawa pengaruh citra yang positif bagi dirinya yang selama ini
dicap sebagai pegawai birokrasi yang korup,tetapi tidak demikian dengan
birokrasi tempatnya bekerja,sudah tiga kali ia dipanggil atasannya gara-gara keaktifannya
dalam LSM.
Hari
itu Pak Bambang pergi ke Jakarta dengan hanya membawa tas yang berisi berkas
yang tak tahu apa isinya.
Yang
jelas setelah kepergiannya itu,atasannya dituntut dua tahun penjara yang
mungkin bisa lebih singkat atau bahkan bebas dengan bantuan orang-orang yang
ringan tangan menjadi “pahlawan” tanda jasa berupa rupiah dalam jumlah yang
tidak sedikit.
Sementara
Pak Bambang menjadi saksi dalam persidangan atasannya,namun akhirnya ditetapkan
menjadi tersangka karena terbukti terlibat korupsi,ia pun dimasukan dalam hotel
prodeo.Istri dan anak-anaknya tidak menangis menerima kenyataan ini,hanya
kesedihan yang terlihat dalam raut wajah mereka.
Kini
anak-anaknya yang masih kecil tahu bahwa untuk menjadi seorang pahlawan di
negeri ini harus masuk penjara,itu pun menurut kebanyakan masyarakat bukan
“pahlawan” melainkan “koruptor” bodoh yang ketahuan.