Kamis, 01 Desember 2011

PAHLAWAN MASA KINI Oleh:AHY


Namannya Pak  Bambang,Ia tinggal di sebuah kota yang sangat gila,hanya orang  yang memiliki kedudukan dan orang yang liciklah yang dapat merasakan kehidupan layak,meski kesejehteraan batin tidak dapat mereka rasakan,yah ia tinggal di sebuah kota yang korupsi dijadikan profesi utama dalam mencapai kesejahteraan oleh mereka yang punya kesempatan.
Pak Bambang benci dengan pegawai negeri yang berkantor di ruangan yang ber_AC,duduk di kursi empuk dengan meja yang dipenuhi puntung rokok dan di atas lemari berisi deretan berkas dan proposal dalam “box file” yang tidak jelas apa fungsinya.
Ia benci pekerjaan itu,dalam termangu ia senandungkan pertanyaan kepada Tuhan yang telah menarik takdirnya kepekerjaan itu,yah seorang pegawai negeri yang pekerjaannya mengurusi uang yang dikumpulkan dari masyarakat di kotanya.
Pukul sebelas siang,kesempatan untuk menyampaikan unek-uneknya saat ia dipanggil oleh Kepala dinas atasannya,dan setelah berbasa-basi disampaikanlah kepada kepala dinas mengenai pandangan masyarakat yang meremehkan kinerja dan moral pegawai di Instansinya.
“Kalau hanya dipersepsikan sebagai sebuah jabatan yang hanya dipenuhi pengabdian,maka kita hanya mendapat secuil kesejahteraan sehingga masyarakat beranggapan pegawai negeri hanyalah pekerjaan sepele.kita mengambil ‘’upeti” dari pengusaha yang membayar pajak di kota ini,itu tidak salah kok,itu hal yang wajar,mengingat begitu banyak pelayanan yang kita berikan .”sebuah jawaban yang didapat dari kepala dinas.
 “Tapi saya pikir ada baiknya kita mau berhenti sesaat guna mendengar keluhan masyarakat pak.”Pak Bambang menyampaikan pendapatnya dengan pikiran menerawang pada ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat selama ini.
“Mereka bilang bahwa birokrasi adalah sumber kemacetan segala urusan,hingga tempat raibnya uang masyarakat,jadi apa tidak sebaiknya kita benahi system birokrasi dan aturan yang ada,supaya tercipta paradigma positif di mata masyarakat.”lanjutnya menyakinkan atasannya. 
“Jangan berpikir seperti itu,jangan gunakan perasaan nurani mu,taati saja perintah atasan,kamu akan senantiasa benar dan selamat.” Tegas atasannya itu.
“Kita di sini terikat dalam sebuah system,jika salah satu dari kita salah,maka kita harus mengatakannya benar untuk menjaga citra instansi kita,yang penting keluarga kita sejahtera,semua kebutuhan terpenuhi,biarlah masyarakat berkata apa,toh mereka tidak bisa memberhentikan kita,yang penting kita menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang di atas.”lanjut kepala dinas yang dirasa memojokannya,entah apa ia yakin dengan jawaban itu.
“Tapi pak bukannya kita di sini ada aturan,kenapa tidak kita mentaati peraturan yang telah dibuat untuk kita jalankan.”Pak Bambang mencoba menyanggahnya.
“Alangkah bodohnya kita jika kita ditundukan oleh aturan, aturan itu kita yang   membuat,kenapa kita harus tunduk.sudahlah yang penting kamu diam,biarkan berjalan seperti ini.”
“Ahh ini jawaban atau dokrin seorang atasan kepada bawahan.”pikir Pak Bambang.
Tidakkah ia merasakan yang ku rasa?merasakan perlakuan mereka terhadap masyarakat yang kurang mampu,seperti penarikan retribusi dari pedagang kaki lima dan pungutan liar dalam mengurus perizinan dan penderitaan masyarakat semakin parah ketika lapak-lapak mereka digusur.bukankah justru mereka yang menggerakan roda perekonomian secara langsung?dan yang lebih penting mereka tidak memperoleh pekerjaan dari birokrasi,bukan dari pemerintah yang selalu mengkampanyekan pengurangan pengangguran.
Ya,mereka bangkit,berdiri dan bergerak dengan kaki mereka sendiri, dan kita hanya memerasnya,apakah hatinya bisa tenang dengan manipulasi uang panas dengan bantuanku selama ini?namun berbagai pertanyaan yang ada dalam benaknya hanya tinggal lamunan ketika kepala dinas mengisyaratkan umtuk menyudahi pembicaraan.
Masalahnya sekarang apa yang harus ia lakukan?apakah ia harus melakukan doktrin dari atasannya?Tidak!!itu bagaikan membasuh muka sendiri dengan air kencing yang najis!apakah ia harus berhenti dari pekerjaan yang telah memberinya fasilitas tempat tinggal dan mobil dengan plat merah serta perabotan yang ia beli dengan uang amplop yang diperoleh para penjahat kerah putih yang “berkooperasi” dengan instansinya?bagaimana ia menghidupi keluarganya jika ia berhenti.kali ini Pak Bambang benar-benar dalam kebimbangan yang luar biasa.
Hari minggu adiknya menginap di rumahnya,saat waktu adzan magrib tiba,Pak Bambang masih dengan berkas-berkas dan proposal yang menumpuk di atas mejanya.
“Sholat dulu mas,ini waktunya magrib.”ajak adiknya.
“Saya masih sibuk.”balas Pak Bambang.
“Sesibuk apapun,sholat harus kita laksanakan mas,mari sholat.”adiknya mencoba membujuk Pak Bambang.
“Masalahnya pekerjaan ini harus selesai malam ini,jika tidak,besok saya dimarah atasan.”timpal Pak Bambang.
“Ya saya tahu,kenapa mas lebih takut kepada marahnya atasan mas,bukan takut kepada marahnya Allah.bukannya yang memberi hidup dan rezeki mas adalah Allah,bukan atasan mas,Allah itu mengetahui apa yang kita lakukan mas,maka hendaknya apa yang kita lakukan adalah untuk mendapat ridhoNya,bukan mendapat kemurkaanNya.”
“Ya sudahlah mas,saya mau sholat dulu.”kata adiknya sambil berlalu.
Pak Bambang menghentikan pekerjaannya,tapi ia tetap duduk di kursi,ia tampak memikirkan sesuatu.
 Sudah enam bulan Pak Bambang aktif di lembaga swadaya masyarakat,yang aktivitasnya memantau birokrasi tempatnya bekerja.hal ini tentu membawa pengaruh citra yang positif bagi dirinya yang selama ini dicap sebagai pegawai birokrasi yang korup,tetapi tidak demikian dengan birokrasi tempatnya bekerja,sudah tiga kali ia dipanggil atasannya gara-gara keaktifannya dalam LSM.
Hari itu Pak Bambang pergi ke Jakarta dengan hanya membawa tas yang berisi berkas yang tak tahu apa isinya.
Yang jelas setelah kepergiannya itu,atasannya dituntut dua tahun penjara yang mungkin bisa lebih singkat atau bahkan bebas dengan bantuan orang-orang yang ringan tangan menjadi “pahlawan” tanda jasa berupa rupiah dalam jumlah yang tidak sedikit.
Sementara Pak Bambang menjadi saksi dalam persidangan atasannya,namun akhirnya ditetapkan menjadi tersangka karena terbukti terlibat korupsi,ia pun dimasukan dalam hotel prodeo.Istri dan anak-anaknya tidak menangis menerima kenyataan ini,hanya kesedihan yang terlihat dalam raut wajah mereka.
Kini anak-anaknya yang masih kecil tahu bahwa untuk menjadi seorang pahlawan di negeri ini harus masuk penjara,itu pun menurut kebanyakan masyarakat bukan “pahlawan” melainkan “koruptor” bodoh yang ketahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar