BAB 1
KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT
Pada bagian
ini dijelaskan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang
berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui
hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri dipuncak
tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menimak
kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir
filsafat adalah bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal
ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu
dalam kontelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral,.
Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan
kepada dirinya.
Sering kita
melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli
ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih
sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka
meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di
bawah tempurung disiplin ilmunya masing-masing, sebaiknya tengadah ke
bintang-bintang dan tercengang : Loh, kok masih ada langit di luar tempurung
kita. Lalu kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang kita tahu simpul
sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa.
Kerendahan
hatian Sokrates ini bukanlah verbalisme yang hanya sekedar basa-basi. Seorang
yang berfikir filsafati bukan hanya tengadah ke bintang-bintang tapi ia juga
membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berfikir
fils afati yang kedua yaitu bersifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa
ilmu itu benar mengapa ilmu dapat disebut benar ? bagaimana proses penilaian
berdasarkan kriteria tersebut dilakukan ? apaka kriteria sendiri itu benar ?
Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu
melingkar. Dan menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik,
yang awal dan pun yang sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan tiitik awal
yang benar?
Filsafat, menjamin
pemikirankan Will durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai
untuk pendaratan pasukan infantreri. Pasukan infanteri ini aadalah sebagai
petahuan yang di antara-nya adalah ilmu. Filsafatlah yang mmenagkan tempat
barpijak elah bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung
dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang
dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia
kembali menjelajah lat lepas.; berspekulasidan meneratas. Seorang yang skeptis
akan berkate: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkah
pun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatanya memang demikian, dan kesalah
pahaman ini dapat segera dihilangkan , sekiranya kita sadar bahwa filsafat
adalah marinir yang merupakan ponir, bukan pengetahuan yang bersifat
memerinci.Filsafat menyerahkan daerah yang pengembanganya bermula sebagai
filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum filsafatnya sebagai
philosophae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam smith (1723-1790)
bapak ilmu ekonomi menulis buku The wealth of Nations (1776) dalam fungsinya
sebagai professor of moral philoshopy di Universitas Glasgow.
Nama asal
fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah
filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu
terjadi peralihan. Dalam taraf peraliha ini maka bidang penjelajahan filsafat
ini menjadi lebih sempit. Tidak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang
tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan bahkan dikaitkan dengan
kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya dan kemudian berkembang
menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu
masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Upamanya ekonomi masih merupakan
penerapan etika (applied ethic) dalam kehidupan manusia dalam memenuhi
hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-
asas moral yang filsafati.
Selaras
dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin
dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pioni dia
mempermasalahkan hal-hal yang pokok : terjawab masalah yang satu, dia pun mula
merambah dengan pertanyaan lain. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat
mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah
(logka), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta
apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang
filsafat ini bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada : tentang hakekat
keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran
yang semuanya terangkum dalam metafisika; dan, kedua, poloitik : yakni kajian
mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini
kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang
kajian yang lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu.
Cabang-cabang filsafat tersebut
antara lain mencakup :
(1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2) Etika (Filsafat Moral)
(3) Estetika (Filsafat Seni)
(4) Metafisika
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6) Filsafat Agama
(7) Filsafat Ilmu
(8) Filsafat Pendidikan
(9) Filsafat Hukum
(10) Filsafat Sejarah
(11) Filsafat Metematika
(1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan)
(2) Etika (Filsafat Moral)
(3) Estetika (Filsafat Seni)
(4) Metafisika
(5) Politik (Filsafat Pemerintahan)
(6) Filsafat Agama
(7) Filsafat Ilmu
(8) Filsafat Pendidikan
(9) Filsafat Hukum
(10) Filsafat Sejarah
(11) Filsafat Metematika
BAB II
DASAR – DASAR PENGETAHUN
DASAR – DASAR PENGETAHUN
Dijelaskan bahwa dasar-dasar pengetahuan yaitu :
Ø PENALARAN
Penalaran
merupakan suatu proses berfikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berikir, merasa,
bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber dari pengetahuan
yang didaptkan lewat merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan
dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun dikatakan
pascal, hatipun memliki logika tersendiri.
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang
disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses
berpikir untuk menghasilakn pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai
kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses
peemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran
di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya
masing-masing.
Ø Defenisi
Kemampuan
menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah
pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal
pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang
baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara
terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia
adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh.
Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk
kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi
kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru,
menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan
hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi
makna bagi kehidupan; manusia memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya
adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi
dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan
pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang
bersifat khas.
Pengetahuan
ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
a. Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
b. Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan
inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang
bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
Ø Hakikat Penalaran
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa,
bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan
yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan
pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran
menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan
dengan perasaan. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan
yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab
itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun
berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang
disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan
landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses
penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria
kebenaran masing-masing.
Sebagai
suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang
pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika,
dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan
bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana
berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu
pola tertentu atau logika tertentu. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat
analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir
yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang
digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika
ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya
tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir
tertentu.
Ø LOGIKA
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir
ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut
cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas
dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.”1 Terdapat
bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan
studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua
jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika
induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus
individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif,
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umu menjadi kasus yang bersifat
individual (khusus)
a. Induksi
Induksi
merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat
umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif
dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan
terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang
bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena
mempunyai dua keuntungan.
• Bersifat ekonomis
• Dimungkinkannya proses penalaran
selanjutnya
b. Deduksi
Penalaran
deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebalikny dari penalaran induktif.
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya
menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari
dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus
ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan
premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran
deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan
tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor,
dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur
tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya
akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
Ø SUMBER PENGETAHUAN
Kebenaran
adalah pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif,
dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan
yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana
kita mendapatkan pengetahuan yang benar
Pada
dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada
rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis
mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang
dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu
sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan
nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang
lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori
dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman
tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang
didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti
kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori
dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
Disamping
rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai
sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris,
kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba
mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melaui proses berliku-liku dia
sudah mendapatkan jawabannya.. intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak
sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya
tidak pada saat sesorang itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi
bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan
inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam
menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Wahyu
merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan
ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan
pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman,
namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan
yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu
pengantara dan kepercayaan terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian
merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini.. kepercayaan merupakan
titik tolak dalam agama. Suatau pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa
diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara
rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung
didalamnya konsisten atau tidak.di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan
fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
Ø KRITERIA KEBENARAN
Tidak
semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya
benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria
kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan
bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan
dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar
bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan
yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren. Paham lain
adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori
korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “
ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar
sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta memang
ibukota republik Indonesia.
Teori
Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah
yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini
kemudian dikembangkan oleh para filsuf Amerika. Bagi seorang pragmatis,
kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut
bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah
benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada
metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang
dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah.
Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan
kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
BAB III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI
Pada
bagian ini telah dijelaskan :
Ø METAFISIKA
Beberapa Tafsiran Metafisika:
Tafsiran
yang paling utama yang diberikan manusia terhadap ala mini adalah bahwa
terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (super-natural) dan uju-ujud ini lebih
tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme
merupakan aliran kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatulisme diman
manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat goib yang terdapat pada
benda-benda seperti batu, phon dan air terjun. Animisme ini merupakan
kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan budaya manusia
dan masih dipeluk oleh masyarakat di muka bumi.
Sebagai
lawan dari supernatulisme, maka terdapat pula paham naturalism yang menolak
pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat super-naturalisme ini.
Materialism, yang merupakan paham berdasarkan naturalism ini, berpendapat bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib,
melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat
dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Prinsip-prinsip
materialism ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 S.M). Dia mengembangkan
materi tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. 2). Bagi
Democritos unsure dasar dari ala mini adalah atom.
Ø ASUMSI
Salah
satu permasalah didalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf
adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini
tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah
hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah
keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik?
Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas dan probabilistik
merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik.. tanpa mengenal
ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang
merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan
baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai
kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan
sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian
yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati
yang tiap kali memberikan hasil yang sama, yang dengan demikian dapat kita simpulkan
bahwa hukum seperti itu berlaku kapan saja dan dimana saja. Paham determinisme
dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes
(1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang
dicerminkan oleh zat dan gerak universal.
Aliran
filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala
kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian
juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang
mentyatakan bahwa semua manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya
tidak terikat kepada hokum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk
meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri
sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin
mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang
dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi
sebagian besar dari mereka ? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal
yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
Konsekuensi
dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian
yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham
determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi
tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas. Sedangkan
posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham
yang bersifat probabilistik. Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita
merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang
kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk
dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya
bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu?
Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah
hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja.
Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana
kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin
mengalami semua kejadian.
Namun
para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang
berfungsi membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan
tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian
sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan
generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti
upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi diantara kutub determinisme dan
pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
Ø PELUANG
Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan
suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi
untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan
itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan
demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia
pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
Ø BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU
Ilmu
yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif
yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun sering
dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang
utuh. Artinya fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara
semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan
ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam
fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah
diatasnya yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya
dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk ilmu-ilmu sosial.
Kemudian
pertanyaan yang muncul dari pernyataan diatas adalah apakah kita perlu membuat
kotakkotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah
sederhana sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat
analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk
dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah perlu. Suatu permasalahan
kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis
secara cermat dan seksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang
rumit ini , seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus
dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai displin
keilmuan , dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan
tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing
dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidispliner. (Jadi bukan “fusi”
dengan penggabungan asumsi yang kacau balau).
Dalam mengembangkan asumsi ini maka
harus diperhatikan beberapa hal:
·
Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian
displin keilmuan.
·
Asumsi ini harus oprasional dan merupakan dasar dari
pengkajian teoritisAsumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana
adanya ‘bukan’ bagaimanakeadaan yang seharusnya.”
Asumsi
yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua
adalah asumsi yang mendasari telaah moral Seorang ilmuwan harus benar-benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan
asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan.
Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak
bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang
menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran
tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian
ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas.
Sesuatu
yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan
pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya, sebab sekiranya
kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan
informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan
pemecahannya.
Ø BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
Apakah
batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan
meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi
karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawab dari semua pertanyaan itu adalah sangat
sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti
pada batas pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempelajari masalah surga dan
neraka dan juga tidak mempelajari sebab musabab kejadian terjadinya manusia,
sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu
hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya
terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai
alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga
disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas
pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang
menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas
jelajah ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan.
Memang demikian, jawab filsuf ilmu,bahkan dalam batas pengalaman manusiapun,
ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang
indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
BAB IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN
PENGETAHUAN YANG BENAR
Ø JARUM SEJARAH PENGETAHUAN
Pada
masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan
belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua
suku umpamanya, bisa merangkap hakim, panglima perang, penghulu yang
menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status
tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, kemanapun kita pergi,
sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu.
Jadi
jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli. Jadi
kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu
dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang.
Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu obyek dengan obyek yang lain.
Antara ujud yang satu dengan ujud yang lain.
Konsep
dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran
(The Age of Reason) pada pertengahan abad XVII.BDengan berkembangnya abad
penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepadan pembedaan. Mulailah
terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan
timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur
kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa
yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri
adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari
metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ngelmu yang
merupakan paradigma dari Abad Pertengahan.
Demikian
juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu
dipergunakan. Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk
ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan obyek yang ditelaah mulai
dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci
ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling
masing-masing displin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah, sebab dalam
kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia, maka masalah yang
dihadapi makin banyak dan makin njelimet. Menghadapi kenyataan ini terdapat
lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas
masing-masing displin ilmu. Dengan dalih pendekatan inter-displiner maka
berbagai displin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke
dalam kesatuan yang berdifusi.
Pendekatan
interdispliner memang merupakan keharusan, namun tidak dengan mengaburkan
otonomi masing-masing displin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan
routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma
ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika,
matematika, statistika dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma
“konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian
bersama antar displin-keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan
merupakan fusi antara berbagai displin keilmuan yang akan menimbulkan
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu, dimana tiap displin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telahan bersama.
Ø PENGETAHUAN
Pengetahuan
merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung
turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan
merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang
diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita
secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan
oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui
kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya “ apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka
pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab
secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian obyek yang berada dalam
lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan
yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa
menjawab pertanyaan itu sebab
ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.
ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.
BAB V
SARANA BERPIKIR ILMIAH
Dijelaskan
bahwa Tujuan mempelajari sarana bepikir ilmiah:
·
Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa
sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan
metode ilmu (deduktif dan induktif), sarana berpikir ilmiah tidak menggunkan
ini dalam mendapatkan pengetahuannya, melainkan mempunyai metode-metode
tersendiri.
·
Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan
kita melakukan penelaah ilmiah secara baiik, sarana berpikir ilmiah antara:
bahasa logika matematika dan statistic.
Bahasa,
manusia dapat berpikir dengan baik karena ada bahasa. Simbol bahasa yang
bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara
berlanjut, bahasa adalah sarana komunikasi. Buah pikiran, perasaan dan sikap,
mempunyai fungsi simbolik (komunikasi bahasa ilmiah), emotif (komunikasi
estetik), dan ojektif.Bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang dimana
rangkaian bunyi tu membentuk suatu arti tertentu atau rangkaian bunyi=kata (melambangkan
satu objek tertentu).
1. Bahasa
Fungsi bahasa
secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu:
1. Alat komunikasi
2. Alat mengekspresikan diri
3. Alat berintegrasi dan beradaptasi social
4. Alat kontrol social.
1. Alat komunikasi
2. Alat mengekspresikan diri
3. Alat berintegrasi dan beradaptasi social
4. Alat kontrol social.
Dalam
filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benaktanpa dalam objek yang
sedang kita pikirkan, membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur,
mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmniah memberi
informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang terkandung dalam
kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah
pemberian makna yang lain. Karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam
mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan
emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Mempunyai gaya penulisan
yang pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderumgan
yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi
kegiatan ilmiah.
Beberapa
kekurangan bahasa antara lain:
·
Sifat multi fungsi dari bahasa itu sendiri (emotif, ajektif,
simbolik)
·
Arti yang tidak jelas dan bebas yang ikandung oleh kata-kata
yang membangun bahasa, kadangkadang lingkup rtinya terlalu lemas misalnya
cinta, pengelola (usaha kerja sama yang bedominasi).
·
Sifat menjenuh bahasa dapat menimbulkan kekacauan semantic,
dimana dua orang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama untuk arti
yang berbeda.
·
Konotasi yang bersifat emosional.
2. Matematika
Matemtika berfungsi :
·
Matematika sebagai bahasa: melambangkan serangkaian mkna
dari pernyataan yang ingin kita sampaikan.
·
Lambang bersifat “arti fisial” yang baru mempunyai arti
setelah sebuah makna diberikan kepadanya.
·
Matematika menutupi kekurangan bahasa verbal ( hanya satu
arti = x).
Sifat
Kuantitatif Dari Matematika
Kelebihan
lain dari Matematikamengembangkan bahasa numeric yang memungkinkan kita untuk
melakukan pengukuran kuantitatif. Matematika: Sarana Berpikir Deduktif, yaitu
Proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premispremis yang kebenarannya
sudah ditentukan.
BAB VI
AKSIOLOGI : KEGUNAAN ILMU
Ø Mengalami zaman edan Kita sulit
menentukan sikap
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia merekapun yang lupa
Lebih bahag ia yang ingat serta waspada
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora Tuhan
Yen tang melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dialah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)
Ranggawarsita (1802-1873)
Turut edan tidak tahan
Kalau tidak turut edan
Kita tidak kebagian
Menderita kelaparan
Tapi dengan bimbingan Tuhan
Betapa bahagia merekapun yang lupa
Lebih bahag ia yang ingat serta waspada
(Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora Tuhan
Yen tang melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dialah kersa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada)
Ranggawarsita (1802-1873)
Ø ILMU DAN MORAL
Masalah
moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran,
sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan
kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihasi oleh
semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan
apa yang dianggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum
racunan John Huss dibakar. D sejarah tidak berhenti disini : kemanusiaan tidak
pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka
ilmuwan sekali dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara
rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini
berganti drengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran.
”Segalanya punya moral”, kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib,
”asalkan kau mampu menemukannya.” (Adakah yang lebih kemerlap dalam gelap;
keberanian yang esensial dalam avoktur intelektual.
Ø TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN
Ilmu
merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil-hasil karya itu memenuhi syarat
keilmuan maka dia diterima sebagai bagia dari kumpulan ilmu pengetahuan dan
digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengaen perkataan lain, penciptaan
ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial.
Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu di mana penemuan
seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas
individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka
menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif
Ø NUKLIR DAN PILIHAN MORAL
Seorang
ilmuan secdara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk
menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya
sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa ilmuan telah bangkit dan bersikap
terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas
kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal menyangkut kemanusiaan para ilmuan
tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan
memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam mengatasi golongan,
ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat
sosial.
Ø REVOLUSI GENETIKA
Revolusi
Genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum
ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri.
Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tiada ada penelaahan ilmiah yang berkaitan
dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik langsung
manusia sebagai objek penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, uapaya kita diarahkan untuk
mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap
pengetahuan yang berkaitan dengan jantung, dan diatas pengetahuan itu
dikembangkan teknologi yang berupa alat yang dapat memberi kemudahan bagi kita
untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung.
Dengan
penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi
obyek penelahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan
kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah
perubahan-perubahan yang dilakukan diatas secara moral dapat dibenarkan.
BAB VII
ILMU DAN KEBUDAYAAN
Ilmu
hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan berperadaban.
(Ibnu Khaldun (1332-1406 dalam muqaddimah)
Ø MANUSIA DAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan
didefenisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, lebih dari
seratus tahun yang lalu, dalam bukunya primitive Culture dimana kebudayaan
diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat serta kemampuan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
Manusia
dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Mendorong Adanya
kebuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley
Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar
hidupnya. Manusia berbeda dengan binantang bukan hanya dalam banyaknya
kebutuhan namun juga dalam memenuhi kebutuhan tersebut’ kebudayaanlah, dalam
konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dengan binatang.
Ø ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN
NASIONAL
Ilmu
merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari
kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup
dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan
kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang
diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pegembangan kebudayaan nasional
merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun
dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu
dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling
mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suat masayarakat
tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan dipihak lain, pengembangan
ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terapdu secara intim dengan
keselurhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka
saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masayarakat ilmu dapat
berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat teresbut tidak
dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu
dan penerapan.
Ø DUA POLA KEBUDAYAAN
Bahwasanya
secara sosiologi maka terdapat kelompok yang memberi nafas baru kepada
ilmu-ilmu sosial. Mereka mengembangkan apa yang dinamakan ilmu-ilmu perilaku
manusia (behavioral sciences) yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana
perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk
menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat
diandalkan dan kuantitatif.
Adanya
dua kebudayaan yang tebagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini
sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya
jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya
kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar.
Pembangkitan jursan berdasarkan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya harus dihilangkan.
Adanya pembagian jurusan ini merpakan hambatan psikologis dan intelektual bagi
pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah merupakan rahasia umum bahwa
jurusan Pasti-Alam dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan
jurusan Sosial-Budaya. Hal ini menyebabkan kepada mereka yang mempunyai minta
dan bakat baik dibidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih ilmu-ilmu alam
karena alasan-alasan sosial-psikologis. Dipihak lain merupaka yang sudah
terkontrak dalam jurusan Sosial-Budaya dalam proses pendidikannya kurang
mendapatkan bimbingan yang cukup dalam pengetahuan matematikanya untuk menjadi
ilmuwan kelas satu yang sungguh-sungguh mampu.
BAB VIII
ILMU DAN BAHASA
Ø TENTANG TERMINOLOGI : ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN
SAINS?
Dua
Jenis Ketahuan Manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti
perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam
kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam
berbagai bentuk ”ketahuan” umpamanya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan
filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisal yang bersifat
sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai kseluruhan
bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu.
Ketahuan
atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk
yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni bediri, cara menyulam dan
biologi itu sendiri. Jadi biologi termasuk kedalam ketahua (knowledge) seperti
juga ekonomi, matematika dan seni.
Untuk membedakan tiap-tiap bentuk
dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni :
·
Objek Ontologis : Adalah objek yang ditelaah yang membuahkan
ketahuan.
·
Landasa Epistemologi : Cara yang dipakai untuk mendapatkan
ketahuan (knowledge) tersebut ; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya
mendapatkan ketahuan (knowledge) ini.
·
Landasan Aksiologis : Untuk apa ketahuan itu digunakan
(nilai)
Ø POLITIK BAHASA NASIONAL
Bahasa
pada hakekatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu pertama sebagai sarana
komunikasi antarmanusia, dan kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan
kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat
kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif dang fungsi yang kedua sebagai fungsi
yang kohesif atau integratif. Pengembangan sebuah bahasa haruslah memperhatikan
kedua fungsi ini agari terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam
pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakan bahasa harus terus
tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
Pada
tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih basaha Indonesia sebagai
bahasa nasional. Alasan yang paling utama pada waktu utama lebih ditekankan
pada fungsi kohesif Bahasa Indonsia sebagai sarana untuk mengintegrasikan
berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat
evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan bahasa Indonesia sebaga fungsi
komunikatif yakni fakta bahwa Bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari
sebagian besar penduduk, namun kalau dikaji lebih mendalam, maka kriteria
bahasa sebagai fungsi kohesif itulah kriteria yang menentukan. Perkembangan
bahasa tentu saja tidak dapat dilepaska dari sektor-sektor lain yang juga
tumbuh berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan
sektor-sektor lain maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan
kontra produktif (counter-productive).
BAB IX
PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH
Jujun Suparjan Suriasumantri
menjelaskan tentang pengajuan masalah sebagai berikut :
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
1. Latar belakang masalah
2. Identifikasi masalah
3. Pembatasan masalah
4. Perumusan masalah
5. Tujuan penelitian
6. Kegunaan penelitian
Ø PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS
1. Pengkajian mengenai teori-teori
ilmiah yang akan dipergunakan dalam analisis
2. Pembahasan mengenaiulat, penelitian-penelitian
yang relevan.
3. Penyusunan kerangka berpikir dalam
pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam
butir (1) dan butir (2) dengan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan
prinsip yang dipergunakan (sekiranya diperlukan)
4. Perumusan hipotesis
Ø METODOLOGI PENELITIAN
·
Tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam
bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan
yang akan diteliti;
·
Tempat dan waktu penelitian di mana akan dilakukan
generalisasi mengenai variabel-variabel yang akan diteliti;
·
Metode penelitian ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian
dan tingkat generalisasi yang diharapkan;
·
Teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan
pnelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian.
·
Teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel
yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik
mendapatkan data.
·
Teknik analisis data yang mencakup langkah-lagkah dan teknik
analisis yang dipergunakan yang ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis
(sekiranya mempergunakan statistika maka tuliskan hipotesis nol dan hipotesis
tandingannya : H0 / H1)
Ø HASIL PENELITIAN
Setelah
perumusan masalah, pengajuan hipotesis dan penetapan metodologi penelitian maka
sampailah kita kepada langkah berikutnya yakni melaporkan apa yang kita temukan
berdasarkan hasil penelitian. Sebaiknya bagian ini betul-betul dipergunakan
untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan selama penelitian untuk menarik
kesimpulan penelitian. Deskripsi tentang langkah dan cara pengolahan data
sebaiknya sudah dinyatakan dalam metodologi penelitian. Sering kita melihat
bahwa bagian ini dipenuhi dengan pernyataan-pernyataan yang kurang relevan dan
pembahasan hasil pnelitian yang menyebabkan menjadi kurang tajamnya fokus
analisis dalam pengkajian.
Secara
singkat maka hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut :
a) Menyatakan variabel-variabel yang diteliti;
b) Menyatakan teknik analisis data;
c) Mendeskripsikan hasil analisis data;
d) Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data;
e) Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
a) Menyatakan variabel-variabel yang diteliti;
b) Menyatakan teknik analisis data;
c) Mendeskripsikan hasil analisis data;
d) Memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data;
e) Menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima.
Ø RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Deskripsi
singkat mengenai masalah, kerangka teoretis, hipotesis, metodologi dan penemuan
penelitian;
b) Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut diatas
c) Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
d) Mengkaji implikasi penelitian;
e) Mengajukan saran.
b) Kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut diatas
c) Pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan;
d) Mengkaji implikasi penelitian;
e) Mengajukan saran.
·
KERANGKA UMUM KARYA ILMIAH
a) Halama utama / halaman sampul
b) Kata pengantar
c) Abstrak
d) Sisi / usulan penelitian
e) Kesimpulan
f) Daftar Pustaka
g) Riwayat Hidup
h) Catatan akhir / lampiran
a) Halama utama / halaman sampul
b) Kata pengantar
c) Abstrak
d) Sisi / usulan penelitian
e) Kesimpulan
f) Daftar Pustaka
g) Riwayat Hidup
h) Catatan akhir / lampiran
BAB X
HAKIKAT DAN KEGUNAAN ILMU
Nilai
dan kegunaan ilmu sebenarnya mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan pebuatan, tingkah laku atau perbuatan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar